Dari Istri Menuju Karya Besar Negeri

Dulu banget pernah terpikir, kenapa kita ga ada “sekolah sebelum nikah” seperti di Israel ya? Mereka, sebelum nikah, pasangannya diberi “kuliah” 6 bulan dan dapat sertifikat izin menikah.

Mengapa di negeri kita, tak ada pendidikan macam ini? Yang mempersiapkan manusia menuju kehidupan yg seperti makan permen nano-nano.

Padahal, negeri ini punya sejarah luar biasa ttg pendidikan keterampilan yg diberikan untuk perempuan.

Mangga di cek, bagaimana perjuangan Raden Dewi Sartika menjadi “solusi” di jamannya. Untuk menwujudkan cita-cita wanita cerdas yang juga terampil dan luwes di rumah.

Sekolah-sekolah yg Dewi Sartika dirikan, tidak hanya berhitung dan menulis, tapi juga memasak, menyulam, menjahit, menyetrika, dan rentetan keahlian lain sebagai seorang “istri” & ibu seutuhnya.

Ehm.. “Teh, kan kita mau nikah, bukan mau jadi pembantu?”

Actually, ternyata betapapun modern-nya zaman, tidak sedikitpun melunturkan khidmat (pelayanan) seorang istri kepada suami.

Lihat bagaimana Fatimah mengurus rumah tangganya..

“Teh, kan banyak tukang laundry dan PRT?”

Ya, tapi PRT dan mesin laundry tidak menjadi pengganti seorang istri berkhidmat pada suaminya.

Nilai setrikaan istri, betapapun bentuknya, tetap lebih “bernilai” dibanding hasil laundry.
Masakan istri betapapun asinnya, tetap lebih nikmat dari buatan khodimat.

Dan masuk akal, Dewi Sartika memilih jalan perjuangan ini. Saat para suami tentram dg istrinya, keluarga menjadi sakinah, suami kerja juga nyaman dan karya-karya besar terlahirkan untuk negeri ini…

Semoga, Komunitas Keluarga Kita bisa kembali menghidupkan semangat juang Dewi Sartika dijaman kekinian..

Tangerang, 31 Januari 2018

Tinggalkan komentar