Cinta Separuh Perjuangan

Ku kira … cinta adalah kata-kata manis nan lembut setiap hari..

Ku kira, cinta adalah ketampanan dan prestasi yang menjulang tinggi…

Ku kira, cinta adalah kemapanan dan pergaulan yang membumi..

Saat menemukanmu, lelaki..

Perkiraanku seperti anak busur yang sempurna disorientasi

(Albantani, Cinta Separuh Perjuangan)

 

“Fa, kalau ada seorang laki-laki baik, santun, tapi wajahnya ga ganteng dan ia ingin menikah denganmu bagaimana?” Tanya rekan kerjaku di parkiran.

“Hah?” Aku menjawab tanggung. Tidak kaget. Tidak juga cuek. Ini bukan kali pertama aku ditanyai, bak aku adalah perempuan pemilih. Dodi temanku sepertinya melihat rona non antusiasku. Ia mengeluarkan jurus meyakinkanku yang kedua.

“Diistikhorahnya, ia merasa yakin, kamulah orang yang tepat untuknya!” Deg. Aku menghentikan langkahku. Aku berpikir. Apa-apaan, kenal saja tidak ujug-ujug ada hasil istikharah.  “Datang ke rumahku kalau serius” Aku menjawab agak sebal. Dodi bereseru senang, pancingannya dimakan ikan yang ia harapkan. Ia segera mengambil handphonenya.

Aku pulang senja itu dengan perasaan tak nyaman. Usiaku hanya berkurang dua angka sebelum menginjak kepala tiga. Tapi mustikah setiap orang menanyaiku seperti yang Dodi lakukan? Dengan jabatan tertinggi di tempat aku bekerja, menjadi dilematis untuk orang mendekatiku, kata teman-temanku. Meski biasanya aku menjawab: aku tak peduli. Tapi, sepertinya kali ini akan berbeda.

Sesampainya dirumah, aku seperti biasa menghabiskan waktu  bersama keluargaku, melepas penat. Ya,  bagiku keluarga adalah segalanya. Sumber energi dan kekuatanku untuk bergerak diluar rumah. Meski sejak aku lulus kuliah, aku baru menyadari sesuatu tentang diriku. Ada hal lain yang bisa menandingi kecintaaku pada keluarga: bekerja. Bagi seorang workcholic sepertiku adalah kemustahilan menghabiskan waktu dirumah berleha-leha bersama keluarga tapi setahun terakhir aku mencoba keras untuk melakukannya. Memisahkan pekerjaan dan urusan pribadi ternyata butuh keterampilan khusus.

***

Azan subuh belum berkumandang, tapi aku terbangun dengan perasaan tak tenang. Ya, akhir-akhir ini aku selalu demam setiap pulang bekerja. Ku periksakan ke dokter, kata dokter semua baik-baik saja. Dan, bukan hal baru, saat mataku terbuka untuk memulai hari, yang terpikir adalah: “pekerjaan hari ini”. Di kantor, aku memiliki kebiasaan me-list semua pekerjaan esok hari, tepat sebelum pulang. Sehingga tak jarang, list itu adalah hal pertama yang aku ingat, ketika bangun tidur.

Seusai sarapan, aku menyalakan ponsel

“Tolong buka emailmu. Ada biodata yang harus kamu pelajari dan mba tunggu jawabanmu sepekan lagi”. Tulis mba Nuni di Whatsapp. Aku kaget. Mba Nuni adalah orang yang ibuku percaya untuk mencarikan jodoh untukku.

Saat aku tahu, ibu mengatakan: “Ibu akan setuju kamu menikah dengan siapa saja pilihan mba Nuni”, aku cuma melongo. “ I can find my soul, maa..” teriakku dalam hati. Tapi yasudahlah…

Aku cek email dan kebiasaanku kumat. Aku tidak pernah antusias melihat biodata lelaki manapun, sebagus apapun isi biodata itu. Aku hanya scroll sedikit, ku lihat wajahnya dan ku tutup email itu.

“Mba, aku siap bertemu orang yang ada di biodata itu” Tulisku pada Mba Nuni dua hari setelah aku membaca CV itu.

“Waktunya masih ada 4 hari lagi untuk berpikir,neng. Istikharah yang banyak.”

Aku cuma nyengir membaca balasannya. Jangankan istikharah, ku baca saja tidak CV itu. Duh, kalau mba-nya tahu, mungkin sudah beroleh getokan. Aku berprinsip tidak ada pacaran, tidak ada jatuh cinta sebelum orang yang dikenalkan memenuhi kriteriaku, dan tidak ada urusan perasaan sebelum ijab kabul terlantunkan. Karena, menurutku cinta adalah logika sederhana. Bukan, bukan karena aku mati rasa. Tapi, aku punya cara sendiri untuk menjaga hatiku. Agar ia utuh saat ditemukan pertama kali oleh pemiliknya.

“Affifa, kamu siap untuk pertemuan besok? Siapkan pertanyaan sebanyak-banyaknya ya…”. Instruksi Mba Nuni malam itu. Ya, malam sebelum aku bertemu dengan lelaki dalam CV itu.

“Iya, mba.”

Apa aku nerveous? Tidak sama sekali. Apa aku bingung, juga tidak. Aku hanya berpikir keras agar aku bisa datang tepat waktu, karena di jam sebelum waktu pertemuan itu, aku akan melakukan perjalanan dengan teman-teman komunitasku. Selain karena, aku hanya punya satu pertanyaan.

***

Hari yang ditunggu kawan-kawanku datang.. Ya, kami ada rencana trip ke masjid pintu 1000. Sebuah kawasan di pinggir Tangerang yang katanya punya banyak cerita. Aku pamit pada orangtuaku untuk pergi kesana. Rencana ini sudah lama kami susun. Bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk banyak hal yang ingin kami tuliskan dalam sejarah perjalanan hidup kami..

Meski dengan mata sembab, karena ikut simulasi alam kubur semua orang bergembira dengan perjalanan ini. Kalau ingat itu, ada geli ada takut. Bagaimana tidak, kita masuk sebuah tempat yang tidak ada penerangan sama sekali dan dilarang menyalakan penerang lain selain panitia. Aku yang phobia gelap kalangkabut ditengah ruangan sempit. Sebelumnya tidak ada informasi ini untukku. Akhirnya aku punya ide sendiri. Mengambil handphone, dan kunyalakan senternya di bawah telapak tanganku. Setidaknya aku bisa tenang saat sesi panitia memberikan penjelasan.

Aku melihat wajah-wajah gembira. Meski kebahagiaan rekan-rekanku tak membuat aku tenang karena jam di pergelangan tanganku menunjukkan satu jam lagi waktu pertemuanku dengan pemilik CV akan dilakukan.  Aku khawatir terlambat.

Tepat saat adzan ashar berkumandang aku tiba di salah satu masjid terbaik di Kabupaten Tangerang. Aku melihat Mba Nuni sudah melambai.

“Mas-nya belum datang mba?”

“Kita sholat dulu yuk!” Jawabnya tak menjawab tanyaku.

Menuju ke ruang wudhu, aku melihat punggung lelaki dengan kemeja merah bergaris putih. Apa itu dia? Ahhh, bukan urusanku..

“Waah, pakai bajunya udah samaan..” Goda Mba Nuni setelah kami berkumpul. Aku memandang sekilas lelaki di sebrangku. Dan benar, aku baru sadar baju kami berwarna sama. Merah marun. Meski yang membuatku kaget adalah pria disamping lelaki dalam CV itu, tak lain adalah Dodi, teman kerjaku. Dasaaaaaar… ternyata ini adalah ulahnya.

Setelah masing-masing dari kami menyampaikan isi biodata masing-masing, lengkap dengan visi-misi berkeluarga, aku diberikan kesempatan untuk bertanya lebih dulu. Terkadang aku berpikir, ini sedang mencari jodoh apa sedang mencari tender. Tapi untuk orang macam aku, sepertinya ini efektif. Tak perlu berlama-lama menghabiskan waktu berpacaran, menguras air mata karena kemungkinan patah hati, dan tak perlu deg-deg-an khawatir pacar diambil orang.

“Pertanyaan saya hanya satu. Apakah setelah menikah, saya tetap dizinkan tinggal bersama ibu saya atau ibu saya tinggal bersama kita jika kita menikah?”

Aku melihat ia mengangguk mantap.

“Ada lagi yang ditanyakan Fiffa?” Bisik Mba Nuni.

“Ga, Mba.. cukup”.

“Hah? Kamu yakin???”

“Iya mba…”

Urusanku dengan lelaki di depanku hanya pertanyaan itu. Selanjutnya giliran ia meyakinkan keluarganya untuk memilihku beserta seluruh keadaan keluargaku. Jika itu sudah selesai, maka aku baru akan melibatkan perasaanku. Untuk maju atau tidak sama sekali.

“Baik, sepekan lagi jika kamu sudah yakin, kami akan ke rumahmu Fa!” Dodi baru membuka suara membantu lelaki disampingnya mengutarakan isi hati.

“Yakinkan saja dulu keluargamu. Baru kita pikirkan selanjutnya”. Ucapku pada lelaki disamping Dodi. Ia tersenyum gugup.

***

Pertemuan itu terlupakan begitu saja. Terkadang aku bingung, waraskah aku? Aku lebih memilih memikirkan pekerjaan serta agenda di komunitasku dibanding urusan perjodohan ini. Sepekan tak terasa, rapat, cari client, membuat ini itu, training dan agenda-agenda lain membuatku tak sempat berpikir soal pertemuan menyejarah itu. Pesan singkat dipenghujung Jum’at membuyarkan konsentrasiku.

“Fa, kami akan datang ke rumahmu, Ahad besok selepas ashar.” Pesan Dodi. Kenapa pula ia tidak memberitahuku tadi di kantor.

“Aku ada agenda training dengan komunitasku, Dod. Apa tidak bisa diundur?” Aku menawar. Meski alasan sebenarnya adalah aku belum mengatakan apa-apa pada keluargaku. Ibu akan teramat kaget jika tetiba ada lelaki yang baru ia lihat, dan mengajak menikah anaknya.

Yes, I know. Dia juga ikut kok!” Jawab Dodi. Setelah kalian selesai acara itu, aku jemput dia disana dan kami akan berangkat bersama.

“Kamu bisa pulang lebih dulukan?”

“Tak usah kau suruh, Dod!”

Habis sudah amunisiku. Malam itu sebelum beranjak ke pembaringan, aku menemui ibu. Dan dengan nada bercanda aku bertanya padanya.

“Bu, kalau Ahad besok ada yang mau ketemu ibu, terus dia pengen ajak nikah teteh bagaimana?”

Ia terlihat agak kaget.

“Ini serius?” Tanyanya meyakinkan. Yaaa, ini diluar kebiasaanku. Banyak teman-teman baruku ku kenalkan pada ibu, tapi tidak dengan cara begini.

“Mau jam berapa? Nanti biar ibu telpon amang-amangmu!”

Waaaaaaah, aku direstui! Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan.

Mataku tidak bisa kupejam. Aduh, aku beneran akan menikah? Terbayanglah semua teoriku tentang berumah tangga dan segala kerempongannya. Kalau ada perempuan kebanyakan yang berpikir menikah itu bagian manis-manisnya, aku berkebalikan. Dunia nyata mengajariku secara psikologis dan empiris tentang sisi pahit berumah tangga. Dan aku terlalu takut untuk mengakui bahwa sisi pahit tak mungkin berdiri sendiri. Ia pasti memiliki sisi lain yang semua orang mendambakannya: kebahagiaan.

Kubuka biodata lelaki itu. Kulihat fotonya baik-baik. Dan kalau merujuk pada kata-kata Dodi, ia tak seburuk yang dideskripsikan. Tapi, dari keseluruhan CV itu aku lama berpikir di bagian karakter. Dia memiliki seluruh karakter yang aku butuhkan untuk melengkapi diriku. Penyabar, tenang, dan konsisten. Semua sifat yang tak secuilpun ada didiriku. CV itu menjukkan banyak perbedaan yang membentang antara aku dan dia. Latar belakang keluarga hingga cara berpikir.

“Duh, bisakah aku menemukan cinta bersama orang yang jelas berbeda denganku?” Aku membatin. Lelah berpikir, aku terlelap.

***

 

Kau lelaki biasa..

Tidak tampan

Tidak bergemerlapan

Belum mapan

Tapi aku mengangguk mantap saat kau mengajakku ke pelaminan

Dimataku, kau berbeda dengan lelaki kebanyakan

(Albantani, Cinta Separuh Perjuangan)

Sore itu menjadi akhir atas anggapanku bahwa semua yang terjadi dua pekan terakhir adalah bercanda. Saat ibuku meng-iya-kan permintaan  lelaki di hadapanku dan aku mengangguk mantap menyetujui jawaban ibu.

“Pekan depan, saya akan ajak keluarga saya untuk melamar Affifa, bu”. Tegasnya.

Apa aku bahagia? Aku tidak tahu. Mungkin lebih tepatnya aku belum sadarkan diri. Aku masih tidak percaya. Baru kemarin semua orang menanyaiku kapan menikah? Baru kemarin, aku melihat wajahnya. Baru kemarin pula aku rasa masih tidur dipelukan ibuku. Dan aku baru menyadari, aku belum mengajak bicara perasanku.

Apa kabar dengan masa laluku? Bagaimana dengan semua target pekerjaanku kalau aku menikah dan langsung memiliki anak? Bagaimana kalau ia tak sebaik yang kuharapkan? Bagaimana jika ia tak mendukung semua aktivitasku? Pertanyaan di kepalaku tak berkurang sedikitpun. Semakin dekat hari pernikahan, pertanyaan semakin beranak-pinak

Tepat sehari setelah prosesi lamaran, untuk pertama kalinya ia menghubungiku. Menanyakan mahar dan segala hal yang berkaitan dengan persiapan resepsi. Jika aku tidak salah hitung, 100 hari lagi ia akan menjadi orang paling dekat denganku. Orang yang akan mempengaruhi setiap kebijakan hidupku. Orang yang akan menjadi penentu surga dan nerakaku. Aku tergugu.

Segala pertanyaannya tentang persiapan pernikahan kami darinya hanya aku baca. Tak berbalas. Aku masih bingung. Perasaanku belum memberi jawaban. Meski ini agak keterlaluan. Saat dua keluarga sudah bertemu aku malah belum menemukan keyakinanku. Perasaanku setengah. Dan aku tidak mungkin menikah dengan menyisakan apapun di masa lalu atau justru melangkah setengah hati. That’s not me!

“Apa ada cinta? Apa aku yakin? Apa aku mampu?” Tapi setegar apapun aku semakin dekat hari pernikahan itu digelar, pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul. Dan membuatku  ingin berlari kepelukanNya. Aku takut. Tiba-tiba, aku merasa tak siap.

Sampai akhirnya, tepat 75 hari sebelum akad digelar, salah satu karya sastra milik Tere Liye menyadarkanku:

Kita tak mungkin mampu membuka lembaran baru, saat kita tak mampu menutup lembaran sebelumnya. Kisah buruk kita di masa lampau, harus kita terima. Dengan penerimaan terbaik.

Ternyata itu masalahnya. Trauma itu membuatku selalu enggan dan tak yakin dengan komitmen seorang lelaki. Kebodohanku selalu melihat masa lalu itulah yang akan terjadi padaku di masa yang akan datang.

 Aku mengambil handphone.

“Fi, kau sudah baca semua riwayat penyakitku?” Aku memberanikan diri.

“Sudah”

“Bagaimana kalau riwayat penyakit itu menjadi penyebab aku tidak akan pernah mampu memberikanmu keturunan. Apa kamu akan tetap bersamaku?” Tanyaku mencongkel segala takutku. Aku harus menaklukkan trauma.

Aku cemas menunggu jawabannya.

“Bagaimana jika akulah yang menjadi penyebab kamu tidak bisa hamil? Apa kau akan tetap bersedia menjadi istriku?”

Jawabannya berhasil membuat danau dimataku tumpah. Ya, aku menemukannya… Aku menemukan orang yang 28 tahun ini aku cari.

***

Maka, disinilah kami

Cinta di hari-hari kita adalah kesederhanaan yang menentramkan

Dekapanmu adalah obat kewarasan tak tergantikan

Dan kerelaanmu membersamaiku berjuang tak pernah bisa disandingkan

Meski dengan ketampanan, kemapanan, juga keterkenalan…

(Albantani, Cinta Separuh Perjuangan)

“Aku ga habis pikir kalau ingat surat yang kamu kasih di malam pertama kita waktu itu…” Suamiku menatapku teduh. Ia mengenang kejadian 18 purnama yang lalu. Aku pun mengingatnya….

Saat semua  tamu sudah pulang dan ia telah usai mengimamiku menunaikan sholat sunnah dua rakaat pertama kali dalam hidup kami aku sodorkan padanya sepucuk surat.

“Apa ini?”

“Baca aja dulu..” Ku tekan suaraku agar terdengar baik-baik saja.

Ia terlihat membaca surat itu berkali-kali. Ketika aku berikan pulpen untuk menandatanganinya, ia menatapku tak percaya.

“Untuk apa?”

“Aku sadar, poligami adalah bagian tak terpisahkan dari syariat agama yang kita anut. Aku juga tak mungkin membencinya karena Rasulku juga melakukannya. Tapi, aku memiliki batas kemampuan. Batas iman mungkin tepatnya…” Aku mencari udara..

“Aku takut, saat suatu hari nanti, kenyataan mengharuskan kamu mengambil jalan untuk melakukan syariat ini, aku tidak sanggup memberikannya karena besarnya ketergantunganku padamu. Maka, saat ini aku berikan ini untukmu…”

Ia memotong penjelasanku dengan dekapannya. Dekapan pertama dari  seorang lelaki seumur hidupku. Aneh. Tapi, aku nyaman disana.

“Kamu mau tahu apa yang akan aku lakukan dengan kertas ini?” tanyanya

“Jika kau menyobeknya, kamu tidak akan mendapatkannya lagi  seumur hidupku…” Dan ia merobek surat izin poligami itu hingga kecil-kecil..

“Aku tidak akan pernah memerlukan surat itu. Seumur hidupku. Yang aku inginkan hanya kamu.”  Ia menatapku dengan tatapan yang tak mampu aku pahami.

Tak lama, aku mendengar isaknya. Aku lihat bening itu jatuh, untuk pertama kalinya aku melihat air mata seorang lelaki tumpah untukku. Dalam kesungguhannya.

Allah Sebaik-baiknya Pengatur. Dia telah membayar lunas setiap detik penantianku..  Lelaki sabar nan lembut ini adalah jawaban atas seluruh doaku.

Maka, ni’mat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Tangerang, 23 Februari 2018