TK Ber PR

Beberapa hari lalu, ketentraman pagi Cisereh terusik. Agak hiperbola memang. Tapi, memang begitulah adanya. Setidaknya membuat diri tergegas keluar dari gravitasi bantal. Ketika didengarkan dengan seksama, ternyata suara itu bersumber dari tetangga sebelah kiriku. Yang sedang merayu dengan nada tinggi anaknya mengerjakan PR. Rayuan yang berbuntut pada pilihan-pilihan yang tidak enak bagi anak: Mengerjakan PR atau tida usah sekolah? Beranjak keluar rumah dan melihat wajah mungil itu sedang berjuang menyelesaikan kewajibannya… Dia mengeluarkan mantra: “Aku tak bisaaa…” Padahal, sedari tadi dia mampu melakukannya dengan sangat baik.

Baginya, ini bukan urusan mau tak mau mengerjakan, tapi ini tentang standar kesulitan yang tidak terukur sama sekali oleh mereka yang memberikan PR MENULIS pada anak usia 4-5 tahun. Ini bukan kali pertama, dulu ketika saya tinggal di Kota Hujan juga pernah menyaksikan hal yang sama. Si anak dicap bandel, karena tidak mengerjakan PR. Dan kemudian ia mengadu,: “Susah, Tante…” Terang saja, usianya belum genap 4 tahun, tetapi sekolahnya memberikan PR menulis alfabet yang rapiiiiii sekali. Dan kemarin sore, tepat tetangga sebelah kananku yang sedang merayu anaknya dengan ancaman jika tak mau mengerjakan PR tak akan diberi uang jajan pas lebaran. Usia si cantik nan lincah itu belum berusia 5 tahun. Ketika dilihat PR nya apa, dan saya terbengong:90 baris huruf hijaiyyah! Jangankan anak itu, aku pun enggan mengerjakannya.

Teringat hari pertama sekolah beberapa pekan lalu, ketika semua anak menyambut dengan antusias “Hari pertama Masuk Sekolah”. Jika kuhitung belum genap 10 hari kebahagiaan itu merekah, kini layu sebelum terambil sari pati-nya. Ada yang salah? Pasti. Tetapi, siapa yang salah? Kita tak tahu… PR menjadi momok menakutkan bagi anak. Tetapi, jika ditelisik lebih jauh, bukan saja tentang PR nya. Melainkan cara para orangtua meminta anaknya mengerjakan PR dan konsekuensi dari sekolah jika sang anak tidak mengerjakan PR yang membuat anak-anak terbebani mengerjakan PR. Sehingga tujuan baik dari sekolah, MELATIH TANGGUNGJAWAB ANAK di rumah justru tidak tersampaikan. Selain itu, seperti disinggung diatas, PR mungkin layak diberikan, tetapi penting juga bagi guru untuk melihat kapasitas anak didiknya dan tahap perkembangan siswanya.

Terlalu berlebihan sepertinya, untuk usia TK diberikan PR sebanyak itu di awal masa belajar anak. Waktunya tak tepat. Saya hanya khawatir, anak tak mau berangkat ke sekolah lagi karena beban belajar yang terlalu berat. Ayah/Bunda…. Kita semua ingin memiliki putra dan putri yang cerdas juga baik hati. Tetapi, memaksa anak untuk mengerjakan PR, memberikan cap negatif kepada mereka saat mereka tak mau mengerjakan PR, atau memberikan ancaman bukan cara yang tepat untuk menemani ananda mengerjakan tugas sekolahnya. Ananda hanya butuh orang yang mau mengerti kebutuhan dasar mereka, sesuai usia perkembangannya. Believe this: Ketika anak itu tahu mereka dicintai dengan tulus oleh orangtuanya, mereka akan melakukan apapun untuk membahagiakan anda. Mengapa saya katakan anak harus tahu, kita mencintainya dengan tulus? Kasus anak tetangga sebelah kiri memberikan saya penyadaran ketika, si Ganteng itu berkata: “Mama sama Bapak ga sayang sama aku!” Padahal, ini hanya urusan PR, tapi mengapa anak jadi berpikir sejauh itu? Ya… karena yang ia rasa, ayah-bundanya “memaksa, membentak, juga memarahi”-nya ketika memintanya mengerjakan PR. Tujuan yang baik tidak akan tercapai dengan cara yang kurang baik…

Tangerang, 31 Juli 2013