Psikotest Sebelum Menikah

Tidak sopan, tentu saja komentar itu yang pertama saya dapat ketika saya melemparkan issu di jejaring sosial  (twitter): “bagaimana jika sebelum menikah dilakukan dahulu tes kecerdasan bagi calon pasangan?”. Memang, memang tidak sopan. Karena kita bukan sedang memilih calon pegawai, calon sekretaris pribadi, apalagi pembantu pribadi. Tetapi ada hal krusial yang luput dari perhatian terkait faktor kecerdasan sebelum kita menikah.

                Faktor kecerdasan yang saya maksud tidak melulu soal nilai IPK atau skor IQ, tapi juga terkait kecerdasan berkomunikasi, membina hubungan dengan orang lain, juga tak kalah penting kecerdasan emosi. Meski saya yakini, ketika cinta sudah menempel dan mengakar di hati dua insan, hal-hal logis akan terkurangi bahkan tak terpikirkan. Oleh karena itu tulisan ini dibuat. Agar, kita yang belum ‘terjerat’ jaring-jaring cinta bisa bijak menyikapi cinta dan kemudian tidak menjadikan pernikahan sebagai ajang pemakluman untuk berhenti berkembang karena suami yang tak cerdas menyikapi kesibukan sang istri.

                Kecerdasan pada dasarnya dapat terlihat dari cara pasangan berkomunikasi, cara ia memperlakukan orang lain di luar dirimu, cara ia melihat keadaan sekitarnya, juga caranya untuk menyikapi kemarahan serta kebahagiaan yang ada dalam dirinya sendiri. Dan semua ini tak akan pernah di dapat jika kita memilih calon pasangan melalui jalur pacaran.

                Perbedaan kecerdasan atau ketidakseimbangan pemahaman antara suami dan istri dapat menjadi salah satu pemicu berakhirnya rumah tangga. Mungkin ini hanya kasus. Tetapi, saya pernah ada dalam kasus tersebut ketika seorang Ibu meminta saya ke rumahnya suatu malam ketika ia tak kuat lagi menanggung beban hidupnya dan butuh teman bercerita.

                Friksi itu terjadi ketika sang istri berkembang pesat, sedangkan sang suami berada tetap dalam “kecukupan” yang ia pahami. Cukup kecerdasan, cukup ilmu, juga mungkin cukup materi. Tetapi landasan kecukupan itu tak membuat keluarga ini merasa tentram, karena cukup sang suami berbeda definisi dengan cukup sang istri. Sang istri ingin anak-anaknya sekolah di tempat terbaik dengan fasilitas yang juga baik dan tentu dengan harga yang tak murah sedangkan sang suami ingin, yang terpenting anaknya cukup bersekolah.

                Itu hal kecil, karena ternyata berkeluarga memang lautan yang tak pernah bisa ditebak kapan badai akan datang, kapan angin sepoi berhembus, atau kapan ombak akan mengamuk. Ujian itu datang lagi ketika mereka merasa sudah mampu untuk saling memahami kata “cukup” meski pada akhirnya si istri yang sedang berkembang harus layu sebelum senja tiba. Ia mengalah. Demi rumah tangganya. Ombak kembali menghantam, ketika justru ketidakpercayaan menyusup di dinding bahtera mereka. Pertama hanya segores, kemudian menjadi gurita besar yang akhirnya membuat bahtera ini hancur berkeping.  

                Berawal dari kecerdasan berkomunikasi ( memahami, menanggapi, mendengarkan, juga menceritakan) kemudian berlanjut kepada kecerdasan intrapersonal, untuk terus berkembang dan saling belajar. Karena cinta pada dasarnya saling menumbuhkembangkan. Bahtera akan kuat jika sang nahkoda dan sang awak kapal mampu seiring dan sejalan. Tetap mampu berkomunikasi dengan baik meski tanpa suara ketika badai menerjang (mana ada yang keburu ngobrol kalo lagi badai kan ya? J). Yang satu, tak meninggalkan yang lain untuk terus bergerak menjemput mimpi-mimpi pribadi yang kemudian menjadi mimpi keluarga itu. Maka, dengan begitu semoga sakinah tercipta.

Tangerang, 21 Februari 2013

                 

               

 

1 Komentar (+add yours?)

  1. balauta
    Feb 22, 2013 @ 08:47:27

    gw setuju banget syfa kadang kita diharuskan dewasa padahal belum mau. Tapi sejalannya waktu itu harus dilakukan. Ternyata komunikasi itu kita harus komitmen untuk belajar bersama-sama dengan pasangan kita kelak ya 😉 keep posting.

    Balas

Tinggalkan komentar