Cara Efektif Mendidik Istri

Aku terkagum dengan cara lelaki menyelesaikan pekerjaan. Aku terpesona dengan cara mereka mengeringkan luka pasangannya dan menjaga ia yang cintai jauh dari hal-hal yang membuat ketenangan pasangannya terkoyak. Dan yang membuatku baru  percaya adalah tentang kekuatan lelaki dalam mencintai pasangannya dan bersabar bersamanya. Semua lelaki  (mungkin) memiliki kemampuan-kemampuan itu, dan alhamdulillah salah satunya tertakdirkan menjadi lelakiku.

Sore itu saat kami jeda menikmati Ahad sore, aku beringsut kedekatnya. Aku bertanya, tentang seberapa  tak pantasnya aku menerima amanah keturunan, saat banyak anak remaja yang belum tuntas sekolahnya, bahkan belum menikah justru Dia beri keturunan.. Dan jawaban lelakiku membuatku tersadar, aku bergeser sangat jauh dari keyakinan yang kami dekap.

“Ini semua ujian, Bunda..” Jawabannya lembut

“Tapi kok ujiannya lama, Bi?”

“Iya, karena kamu juga butuh berpuluh tahun untuk dapet ijazah S1 kan? Dari mulai SD?” Tantangnya menjungkirbalikkan logikakku.

“Apa aku memang se-ga pantes itu untuk dapat anak,Bi?”

“Kepantasan itu bukan kita yang menentukan,Bun..” Dia sabar menjelaskan. “Mereka yang dapat anak juga sedang Allah uji. Ujiannya adalah punya anak itu sendiri. Jadi bukan soal pantas dan tidak pantas”

Aku menatap wajahnya lama.. Ia belum lama aktif dan fokus menimba ilmu agama. Ia yang masih berjuang terus untuk memperbaiki diri dalam ibadah dan rupa-rupa kesibukan positif. Ia yang tidak pernah bergulat dan bergelut dengan dunia pesantren, tapi lihatlah.. Jawabannya adalah inti dari semua yang pernah aku pelajari tapi tak mampu aku amalkan. Bahkan, tanpa penjelasannya sore itu, mungkin tauhidku cacat.

Di hari yang lain, aku pernah membuat kesalahan. Kesalahan yang sesungguhnya merugikan diriku sendiri dan berimbas pada keluarga kami. Kesalahan yang baru aku sadari setelah terjadi adalah kesalahan besar. Tapi dengan ketenangannya, ia tidak marah justru ia membisikkanku kalimat yang membuatku sadar, ia akan (selalu)  menjadi seseorang yang memang layak mendapat segala yang terbaik dariku. Ia mengatakan:

“Maafkan aku,Bunda.. Aku tidak memberitahumu dari awal,apa yang kamu lakukan itu tidak tepat .”

Dan ia mengajariku dengan sangat efektif tentang dunia berkeluarga, tanpa banyak teori dan ceramah. Tanpa marah-marah. Tanpa diskusi panjang lebar.  Aku si kepala batu, sejak saat itu tak lagi keras.

Ya, ia berhasil memahami karakterku dengan sangat baik, hanya dua tahun. Dan aku justru sibuk dengan duniaku. Lupa, bahwa aku sudah bedua!

Dan menjalani tahun ketiga kami berdua, aku mulai me-restart diriku sendiri. Untuk berbenah, menyusulnya. Menjadi pribadi yang menyenangkan dan menangkan pasangan. Menata hidup, prioritas, juga kekuatan diri untuk sepenuhnya  bersama keluarga.

Ia mengajariku beberapa hal untuk hidup bahagia bersama pasangan:

  1. Mengenali karakter pasangan
  2. Memberikan ruang penghormatan berupa raung berpikir dan berpendapat bagi pasangan, meski kita tahu apa yang diputuskan pasangan mungkin akan beresiko buruk.
  3. Menjadilah tenang di setiap letupan kehidupan

Semoga Allah karuniakan kita pasangan yang menyenangkan dunia dan akhirat..

 

Tangerang, 28 Agustus 2018

Hari Ke 741 and still counting

Tik Tok dan Keluarga Indonesia

Dunia maya tanah air akhir-akhir ini ramai dengan munculnya selebgram yang tiba-tiba kemahsyurannya mengalahkan artis papan atas, bahkan mengalahkan para caleg dan politisi yang akan berlaga di 2019 meski telah membuat iklan ratusan juta (mungkin, para politisi ini harus belajar pada anak-anak selebgram ini yaaa soal mencari popularitas tanpa uang banyak ). Selebrgam ini hanya menggunakan media gratis bernama: tiktok.

Apa salah? Jawabannya sangat tergantung dari sudut pandang apa yang digunakan. Karena pada dasarnya, aplikasi apapun sangat bergantung pada user-nya. Jika digunakan untuk kebaikan, pasti menuai kebermanfaatan. Begitupun saat aplikasi itu ditangan mereka yang masih mencari jati diri, bisa jadi apa yang dihasilkannya adalah sesuatu yang harus mendapat perhatian. Ya, dunia remaja salah satunya. Mengapa salah satunya? Karena di dunia maya, tidak hanya anak dan remaja yang mencari jati diri, tapi juga mereka yang hitungan usianya sudah beranjak matang.

Pemerintah dengan sigap melihat fenomena ini dan memberikan respon dengan pemblokiran terhadap aplikasi Tiktok ini. Hal yang harus diapresiasi oleh kita para orangtua dan para pemakai dunia maya. Meski, semoga gerakan ini tidak berhenti dengan memblokir tetapi juga mengedukasi netizen tentang dunia maya, terutama untuk mereka yang sedang mencari jati diri. Mengapa? Karena terkadang bukan alatnya yang salah, tapi bisa jadi penggunanya yang belum tahu ia memegang sesuatu yang teramat berbahaya disisi lain dan menguntungkan di sisi lainnya.

Setelah pemerintah mengambil peran, lalu siapa lagi yang harus mengintrospeksi? Tak lain, dan tak bukan adalah kita. Ya, kita.. Saya, Anda, dan para orangtua yang hidup di zaman ini. Anak-anak seperti pemimpin. Jika pemimpin adalah cerminan dari masyarakat yang dipimpinnya, maka anak-anak adalah cerminan dari orang dewasa yang ada di sekitarnya. Bukankah mereka meniru? Lalu apa yang sudah kita lakukan untuk mengarahkan anak agar tahu batasan dalam menggunakan internet? Apa sebagai orangtua dan orang dewasa kita sudah menjadi teladan yang baik? Apa anak-anak kita sudah tahu apa yang mereka cari dan apa yang mereka lakukan di dunia maya? Hingga mempertontonkan ketidaktahuan tentang eksistensi agama dan Tuhan.. Apa kita juga sudah mengajarkan permata hati kita bahwa like, suscribe, dan puja puji bukan segala-galanya di dunia maya? Hingga mengorbankan jiwa hanya untuk sebuah jempol di akun mereka.. Atau pertanyaan paling mendasar, apakah kita sudah memberikan cinta tulus kita dalam bentuk perhatian dan waktu untuk putra/putri kita? Hingga mereka tidak membabi buta mencari pengakuan dan perhatian di dunia maya.

Ya, pada akhirnya kita juga menyadari bahwa apapun yang dihasilkan dunia maya, adalah ekspresi tak tersampaikan di dunia nyata. Pada akhirnya, saat kita menyadari pemerintah yang menjadi jalan terakhir membentuk anak-anak kita, maka keluarga dan lingkungan terdekat anaklah yang menjadi pemberhentian utama anak untuk melihat baik dan buruk karyanya di dunia maya. Maka, semoga mulai hari ini yang menjadi netizen bijak itu bukan kita tuntut dari anak-anak dan remaja, tetapi mulai dari jari jemari kita-orang-orang dewasa. Karena selama kita masih menjadi netizen maha nyinyir, maka menginginkan anak menjadi netizen maha baik adalah harapan kosong.

#GenerasiInspirasi
#YayasanSahabatMudaTangerang
#KomunitasKeluargaKita

Cinta Separuh Perjuangan

Ku kira … cinta adalah kata-kata manis nan lembut setiap hari..

Ku kira, cinta adalah ketampanan dan prestasi yang menjulang tinggi…

Ku kira, cinta adalah kemapanan dan pergaulan yang membumi..

Saat menemukanmu, lelaki..

Perkiraanku seperti anak busur yang sempurna disorientasi

(Albantani, Cinta Separuh Perjuangan)

 

“Fa, kalau ada seorang laki-laki baik, santun, tapi wajahnya ga ganteng dan ia ingin menikah denganmu bagaimana?” Tanya rekan kerjaku di parkiran.

“Hah?” Aku menjawab tanggung. Tidak kaget. Tidak juga cuek. Ini bukan kali pertama aku ditanyai, bak aku adalah perempuan pemilih. Dodi temanku sepertinya melihat rona non antusiasku. Ia mengeluarkan jurus meyakinkanku yang kedua.

“Diistikhorahnya, ia merasa yakin, kamulah orang yang tepat untuknya!” Deg. Aku menghentikan langkahku. Aku berpikir. Apa-apaan, kenal saja tidak ujug-ujug ada hasil istikharah.  “Datang ke rumahku kalau serius” Aku menjawab agak sebal. Dodi bereseru senang, pancingannya dimakan ikan yang ia harapkan. Ia segera mengambil handphonenya.

Aku pulang senja itu dengan perasaan tak nyaman. Usiaku hanya berkurang dua angka sebelum menginjak kepala tiga. Tapi mustikah setiap orang menanyaiku seperti yang Dodi lakukan? Dengan jabatan tertinggi di tempat aku bekerja, menjadi dilematis untuk orang mendekatiku, kata teman-temanku. Meski biasanya aku menjawab: aku tak peduli. Tapi, sepertinya kali ini akan berbeda.

Sesampainya dirumah, aku seperti biasa menghabiskan waktu  bersama keluargaku, melepas penat. Ya,  bagiku keluarga adalah segalanya. Sumber energi dan kekuatanku untuk bergerak diluar rumah. Meski sejak aku lulus kuliah, aku baru menyadari sesuatu tentang diriku. Ada hal lain yang bisa menandingi kecintaaku pada keluarga: bekerja. Bagi seorang workcholic sepertiku adalah kemustahilan menghabiskan waktu dirumah berleha-leha bersama keluarga tapi setahun terakhir aku mencoba keras untuk melakukannya. Memisahkan pekerjaan dan urusan pribadi ternyata butuh keterampilan khusus.

***

Azan subuh belum berkumandang, tapi aku terbangun dengan perasaan tak tenang. Ya, akhir-akhir ini aku selalu demam setiap pulang bekerja. Ku periksakan ke dokter, kata dokter semua baik-baik saja. Dan, bukan hal baru, saat mataku terbuka untuk memulai hari, yang terpikir adalah: “pekerjaan hari ini”. Di kantor, aku memiliki kebiasaan me-list semua pekerjaan esok hari, tepat sebelum pulang. Sehingga tak jarang, list itu adalah hal pertama yang aku ingat, ketika bangun tidur.

Seusai sarapan, aku menyalakan ponsel

“Tolong buka emailmu. Ada biodata yang harus kamu pelajari dan mba tunggu jawabanmu sepekan lagi”. Tulis mba Nuni di Whatsapp. Aku kaget. Mba Nuni adalah orang yang ibuku percaya untuk mencarikan jodoh untukku.

Saat aku tahu, ibu mengatakan: “Ibu akan setuju kamu menikah dengan siapa saja pilihan mba Nuni”, aku cuma melongo. “ I can find my soul, maa..” teriakku dalam hati. Tapi yasudahlah…

Aku cek email dan kebiasaanku kumat. Aku tidak pernah antusias melihat biodata lelaki manapun, sebagus apapun isi biodata itu. Aku hanya scroll sedikit, ku lihat wajahnya dan ku tutup email itu.

“Mba, aku siap bertemu orang yang ada di biodata itu” Tulisku pada Mba Nuni dua hari setelah aku membaca CV itu.

“Waktunya masih ada 4 hari lagi untuk berpikir,neng. Istikharah yang banyak.”

Aku cuma nyengir membaca balasannya. Jangankan istikharah, ku baca saja tidak CV itu. Duh, kalau mba-nya tahu, mungkin sudah beroleh getokan. Aku berprinsip tidak ada pacaran, tidak ada jatuh cinta sebelum orang yang dikenalkan memenuhi kriteriaku, dan tidak ada urusan perasaan sebelum ijab kabul terlantunkan. Karena, menurutku cinta adalah logika sederhana. Bukan, bukan karena aku mati rasa. Tapi, aku punya cara sendiri untuk menjaga hatiku. Agar ia utuh saat ditemukan pertama kali oleh pemiliknya.

“Affifa, kamu siap untuk pertemuan besok? Siapkan pertanyaan sebanyak-banyaknya ya…”. Instruksi Mba Nuni malam itu. Ya, malam sebelum aku bertemu dengan lelaki dalam CV itu.

“Iya, mba.”

Apa aku nerveous? Tidak sama sekali. Apa aku bingung, juga tidak. Aku hanya berpikir keras agar aku bisa datang tepat waktu, karena di jam sebelum waktu pertemuan itu, aku akan melakukan perjalanan dengan teman-teman komunitasku. Selain karena, aku hanya punya satu pertanyaan.

***

Hari yang ditunggu kawan-kawanku datang.. Ya, kami ada rencana trip ke masjid pintu 1000. Sebuah kawasan di pinggir Tangerang yang katanya punya banyak cerita. Aku pamit pada orangtuaku untuk pergi kesana. Rencana ini sudah lama kami susun. Bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk banyak hal yang ingin kami tuliskan dalam sejarah perjalanan hidup kami..

Meski dengan mata sembab, karena ikut simulasi alam kubur semua orang bergembira dengan perjalanan ini. Kalau ingat itu, ada geli ada takut. Bagaimana tidak, kita masuk sebuah tempat yang tidak ada penerangan sama sekali dan dilarang menyalakan penerang lain selain panitia. Aku yang phobia gelap kalangkabut ditengah ruangan sempit. Sebelumnya tidak ada informasi ini untukku. Akhirnya aku punya ide sendiri. Mengambil handphone, dan kunyalakan senternya di bawah telapak tanganku. Setidaknya aku bisa tenang saat sesi panitia memberikan penjelasan.

Aku melihat wajah-wajah gembira. Meski kebahagiaan rekan-rekanku tak membuat aku tenang karena jam di pergelangan tanganku menunjukkan satu jam lagi waktu pertemuanku dengan pemilik CV akan dilakukan.  Aku khawatir terlambat.

Tepat saat adzan ashar berkumandang aku tiba di salah satu masjid terbaik di Kabupaten Tangerang. Aku melihat Mba Nuni sudah melambai.

“Mas-nya belum datang mba?”

“Kita sholat dulu yuk!” Jawabnya tak menjawab tanyaku.

Menuju ke ruang wudhu, aku melihat punggung lelaki dengan kemeja merah bergaris putih. Apa itu dia? Ahhh, bukan urusanku..

“Waah, pakai bajunya udah samaan..” Goda Mba Nuni setelah kami berkumpul. Aku memandang sekilas lelaki di sebrangku. Dan benar, aku baru sadar baju kami berwarna sama. Merah marun. Meski yang membuatku kaget adalah pria disamping lelaki dalam CV itu, tak lain adalah Dodi, teman kerjaku. Dasaaaaaar… ternyata ini adalah ulahnya.

Setelah masing-masing dari kami menyampaikan isi biodata masing-masing, lengkap dengan visi-misi berkeluarga, aku diberikan kesempatan untuk bertanya lebih dulu. Terkadang aku berpikir, ini sedang mencari jodoh apa sedang mencari tender. Tapi untuk orang macam aku, sepertinya ini efektif. Tak perlu berlama-lama menghabiskan waktu berpacaran, menguras air mata karena kemungkinan patah hati, dan tak perlu deg-deg-an khawatir pacar diambil orang.

“Pertanyaan saya hanya satu. Apakah setelah menikah, saya tetap dizinkan tinggal bersama ibu saya atau ibu saya tinggal bersama kita jika kita menikah?”

Aku melihat ia mengangguk mantap.

“Ada lagi yang ditanyakan Fiffa?” Bisik Mba Nuni.

“Ga, Mba.. cukup”.

“Hah? Kamu yakin???”

“Iya mba…”

Urusanku dengan lelaki di depanku hanya pertanyaan itu. Selanjutnya giliran ia meyakinkan keluarganya untuk memilihku beserta seluruh keadaan keluargaku. Jika itu sudah selesai, maka aku baru akan melibatkan perasaanku. Untuk maju atau tidak sama sekali.

“Baik, sepekan lagi jika kamu sudah yakin, kami akan ke rumahmu Fa!” Dodi baru membuka suara membantu lelaki disampingnya mengutarakan isi hati.

“Yakinkan saja dulu keluargamu. Baru kita pikirkan selanjutnya”. Ucapku pada lelaki disamping Dodi. Ia tersenyum gugup.

***

Pertemuan itu terlupakan begitu saja. Terkadang aku bingung, waraskah aku? Aku lebih memilih memikirkan pekerjaan serta agenda di komunitasku dibanding urusan perjodohan ini. Sepekan tak terasa, rapat, cari client, membuat ini itu, training dan agenda-agenda lain membuatku tak sempat berpikir soal pertemuan menyejarah itu. Pesan singkat dipenghujung Jum’at membuyarkan konsentrasiku.

“Fa, kami akan datang ke rumahmu, Ahad besok selepas ashar.” Pesan Dodi. Kenapa pula ia tidak memberitahuku tadi di kantor.

“Aku ada agenda training dengan komunitasku, Dod. Apa tidak bisa diundur?” Aku menawar. Meski alasan sebenarnya adalah aku belum mengatakan apa-apa pada keluargaku. Ibu akan teramat kaget jika tetiba ada lelaki yang baru ia lihat, dan mengajak menikah anaknya.

Yes, I know. Dia juga ikut kok!” Jawab Dodi. Setelah kalian selesai acara itu, aku jemput dia disana dan kami akan berangkat bersama.

“Kamu bisa pulang lebih dulukan?”

“Tak usah kau suruh, Dod!”

Habis sudah amunisiku. Malam itu sebelum beranjak ke pembaringan, aku menemui ibu. Dan dengan nada bercanda aku bertanya padanya.

“Bu, kalau Ahad besok ada yang mau ketemu ibu, terus dia pengen ajak nikah teteh bagaimana?”

Ia terlihat agak kaget.

“Ini serius?” Tanyanya meyakinkan. Yaaa, ini diluar kebiasaanku. Banyak teman-teman baruku ku kenalkan pada ibu, tapi tidak dengan cara begini.

“Mau jam berapa? Nanti biar ibu telpon amang-amangmu!”

Waaaaaaah, aku direstui! Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan.

Mataku tidak bisa kupejam. Aduh, aku beneran akan menikah? Terbayanglah semua teoriku tentang berumah tangga dan segala kerempongannya. Kalau ada perempuan kebanyakan yang berpikir menikah itu bagian manis-manisnya, aku berkebalikan. Dunia nyata mengajariku secara psikologis dan empiris tentang sisi pahit berumah tangga. Dan aku terlalu takut untuk mengakui bahwa sisi pahit tak mungkin berdiri sendiri. Ia pasti memiliki sisi lain yang semua orang mendambakannya: kebahagiaan.

Kubuka biodata lelaki itu. Kulihat fotonya baik-baik. Dan kalau merujuk pada kata-kata Dodi, ia tak seburuk yang dideskripsikan. Tapi, dari keseluruhan CV itu aku lama berpikir di bagian karakter. Dia memiliki seluruh karakter yang aku butuhkan untuk melengkapi diriku. Penyabar, tenang, dan konsisten. Semua sifat yang tak secuilpun ada didiriku. CV itu menjukkan banyak perbedaan yang membentang antara aku dan dia. Latar belakang keluarga hingga cara berpikir.

“Duh, bisakah aku menemukan cinta bersama orang yang jelas berbeda denganku?” Aku membatin. Lelah berpikir, aku terlelap.

***

 

Kau lelaki biasa..

Tidak tampan

Tidak bergemerlapan

Belum mapan

Tapi aku mengangguk mantap saat kau mengajakku ke pelaminan

Dimataku, kau berbeda dengan lelaki kebanyakan

(Albantani, Cinta Separuh Perjuangan)

Sore itu menjadi akhir atas anggapanku bahwa semua yang terjadi dua pekan terakhir adalah bercanda. Saat ibuku meng-iya-kan permintaan  lelaki di hadapanku dan aku mengangguk mantap menyetujui jawaban ibu.

“Pekan depan, saya akan ajak keluarga saya untuk melamar Affifa, bu”. Tegasnya.

Apa aku bahagia? Aku tidak tahu. Mungkin lebih tepatnya aku belum sadarkan diri. Aku masih tidak percaya. Baru kemarin semua orang menanyaiku kapan menikah? Baru kemarin, aku melihat wajahnya. Baru kemarin pula aku rasa masih tidur dipelukan ibuku. Dan aku baru menyadari, aku belum mengajak bicara perasanku.

Apa kabar dengan masa laluku? Bagaimana dengan semua target pekerjaanku kalau aku menikah dan langsung memiliki anak? Bagaimana kalau ia tak sebaik yang kuharapkan? Bagaimana jika ia tak mendukung semua aktivitasku? Pertanyaan di kepalaku tak berkurang sedikitpun. Semakin dekat hari pernikahan, pertanyaan semakin beranak-pinak

Tepat sehari setelah prosesi lamaran, untuk pertama kalinya ia menghubungiku. Menanyakan mahar dan segala hal yang berkaitan dengan persiapan resepsi. Jika aku tidak salah hitung, 100 hari lagi ia akan menjadi orang paling dekat denganku. Orang yang akan mempengaruhi setiap kebijakan hidupku. Orang yang akan menjadi penentu surga dan nerakaku. Aku tergugu.

Segala pertanyaannya tentang persiapan pernikahan kami darinya hanya aku baca. Tak berbalas. Aku masih bingung. Perasaanku belum memberi jawaban. Meski ini agak keterlaluan. Saat dua keluarga sudah bertemu aku malah belum menemukan keyakinanku. Perasaanku setengah. Dan aku tidak mungkin menikah dengan menyisakan apapun di masa lalu atau justru melangkah setengah hati. That’s not me!

“Apa ada cinta? Apa aku yakin? Apa aku mampu?” Tapi setegar apapun aku semakin dekat hari pernikahan itu digelar, pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul. Dan membuatku  ingin berlari kepelukanNya. Aku takut. Tiba-tiba, aku merasa tak siap.

Sampai akhirnya, tepat 75 hari sebelum akad digelar, salah satu karya sastra milik Tere Liye menyadarkanku:

Kita tak mungkin mampu membuka lembaran baru, saat kita tak mampu menutup lembaran sebelumnya. Kisah buruk kita di masa lampau, harus kita terima. Dengan penerimaan terbaik.

Ternyata itu masalahnya. Trauma itu membuatku selalu enggan dan tak yakin dengan komitmen seorang lelaki. Kebodohanku selalu melihat masa lalu itulah yang akan terjadi padaku di masa yang akan datang.

 Aku mengambil handphone.

“Fi, kau sudah baca semua riwayat penyakitku?” Aku memberanikan diri.

“Sudah”

“Bagaimana kalau riwayat penyakit itu menjadi penyebab aku tidak akan pernah mampu memberikanmu keturunan. Apa kamu akan tetap bersamaku?” Tanyaku mencongkel segala takutku. Aku harus menaklukkan trauma.

Aku cemas menunggu jawabannya.

“Bagaimana jika akulah yang menjadi penyebab kamu tidak bisa hamil? Apa kau akan tetap bersedia menjadi istriku?”

Jawabannya berhasil membuat danau dimataku tumpah. Ya, aku menemukannya… Aku menemukan orang yang 28 tahun ini aku cari.

***

Maka, disinilah kami

Cinta di hari-hari kita adalah kesederhanaan yang menentramkan

Dekapanmu adalah obat kewarasan tak tergantikan

Dan kerelaanmu membersamaiku berjuang tak pernah bisa disandingkan

Meski dengan ketampanan, kemapanan, juga keterkenalan…

(Albantani, Cinta Separuh Perjuangan)

“Aku ga habis pikir kalau ingat surat yang kamu kasih di malam pertama kita waktu itu…” Suamiku menatapku teduh. Ia mengenang kejadian 18 purnama yang lalu. Aku pun mengingatnya….

Saat semua  tamu sudah pulang dan ia telah usai mengimamiku menunaikan sholat sunnah dua rakaat pertama kali dalam hidup kami aku sodorkan padanya sepucuk surat.

“Apa ini?”

“Baca aja dulu..” Ku tekan suaraku agar terdengar baik-baik saja.

Ia terlihat membaca surat itu berkali-kali. Ketika aku berikan pulpen untuk menandatanganinya, ia menatapku tak percaya.

“Untuk apa?”

“Aku sadar, poligami adalah bagian tak terpisahkan dari syariat agama yang kita anut. Aku juga tak mungkin membencinya karena Rasulku juga melakukannya. Tapi, aku memiliki batas kemampuan. Batas iman mungkin tepatnya…” Aku mencari udara..

“Aku takut, saat suatu hari nanti, kenyataan mengharuskan kamu mengambil jalan untuk melakukan syariat ini, aku tidak sanggup memberikannya karena besarnya ketergantunganku padamu. Maka, saat ini aku berikan ini untukmu…”

Ia memotong penjelasanku dengan dekapannya. Dekapan pertama dari  seorang lelaki seumur hidupku. Aneh. Tapi, aku nyaman disana.

“Kamu mau tahu apa yang akan aku lakukan dengan kertas ini?” tanyanya

“Jika kau menyobeknya, kamu tidak akan mendapatkannya lagi  seumur hidupku…” Dan ia merobek surat izin poligami itu hingga kecil-kecil..

“Aku tidak akan pernah memerlukan surat itu. Seumur hidupku. Yang aku inginkan hanya kamu.”  Ia menatapku dengan tatapan yang tak mampu aku pahami.

Tak lama, aku mendengar isaknya. Aku lihat bening itu jatuh, untuk pertama kalinya aku melihat air mata seorang lelaki tumpah untukku. Dalam kesungguhannya.

Allah Sebaik-baiknya Pengatur. Dia telah membayar lunas setiap detik penantianku..  Lelaki sabar nan lembut ini adalah jawaban atas seluruh doaku.

Maka, ni’mat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Tangerang, 23 Februari 2018

 

 

OBAT FLU KEKINIAN

Pernah merasakan hidung meler tanpa sebab?
Beberapa hari lalu, saya tiba-tiba flu tanpa ada riwayat kehujanan atau lelah fisik berlebihan. Untuk orang yg jaraaang sekali flu, saya semangat “menginventarisir” sebab.
Pengatur udara di cek, ternyata belum masuk masa tenggat pembersihan. Makanan sepekan terakhir dipikir-pikir, mungkin ada yang terlewatkan dikonsumsi. Tapi ternyata masih dalam batas normal (bahkan beberapa hari, 4 kali sehari makan berat).

Pikiran?
Karena biasanya tubuh saya lebih peka dibanding alarm sistem kesehatan otak saya..maka sepertinya ini yang musti dicarikan solusinya..

Setelah minum dan istirahat lebih banyak dan melakukan hal-hal yang disukai tapi si flu tak tak kunjung sembuh..
Hari ketiga akhirnya saya mencoba untuk pergi ke salon.
IMG-20180208-WA0000

Saya memilih scrub dan totok wajah. Saya tak berniat menyembuhkan flu atau menghilangkan demam. Hanya ingin memberikan waktu yang cukup untuk merawat diri.

Tapi tak disangka selesai perawatan, sumeng dan flu saya reda. Tidur lelap setelahnya dan keesokan harinya semua aktivitas bisa dilakukan seperti sedia kala.. Alhamdulillah..

Hanya ingin berbagi tips, dears.. Saat kamu sakit sebelum pergi ke dokter kenali tenyebab sakitmu.. karena terkadang tidak semua penyakit perlu obat dokter 😁. Bisa jadi, kita emak-emak jaman now hanya butuh mondar-mandir di toko buku, baca novel, atau seperti saya: cukup dengan perawatan diri.

Tangerang, 26 Maret 2018

PelukanMu

Aku kembali mengetuk Arsyi-Mu
Berharap,
Engkau membalikkan wajahMu dan berkenan merengkuhku

SapaanMu sudah kuterima berbulan-bulan lalu
Tapi aku tak kunjung datang padaMu
Hingga akhirnya, detik ini datang

Saat pundak tak sanggup lagi menampung beban
Saat kaki sudah tak kuat lagi menapak
Saat mata tak mampu menerima cahaya
Aku terkapar
Dalam kerinduanku padaMu

Engkau tak pernah ingkar janji
Aku rasakan tanganMu memelukku hangat, dan Engkau berkata…
“Sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain…”
Ketukanku di ArsyiMu Engkau jawab tanpa perantara,
saat Engkau bisikkan aku
“Semua ujian tak akan diluar kesanggupanmu..”

Terimakasih telah selalu ada untukku
Tanpa penghakiman atas segala kesalahanku
Tanpa penghinaan atas segala kekeliruanku
Tanpa kesombongan atas segala keangkuhanku
Tanpa pertanyaan atas segala kebodohanku

Kini, aku meminta satu lagi…
Izinkan aku selalu mencintaiMu

Tangerang, 20 Maret 2018

———————–

Selamat Hari Puisi…

WARTAWAN BODREK

SERANG. Pemberian bantuan dana baik dari pemerintah pusat maupun daerah ke sejumlah instansi di akar rumput memanggil banyak kewaspadaan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah wartawan. Pers dalam hal ini memiliki hak sebagai pengontrol jalannya roda pemerintahan dan memegang kendali kontrol sosial di masyarakat. Akan tetapi, hak istimewa ini sering disalahgunakan bagi sebagian kecil oknum pers.
WhatsApp Image 2018-02-11 at 15.28.49“Kalau kita tidak salah, tidak perlu takut didatangi wartawan!” Ucap Hilal Ahmad di pelatihan Jurnalistik Kelas Menulis Rumah Dunia Angkatan 31, Ahad (10/2).
Pria yang menggunakan T-Shirt berwarna ungu ini menyampaikan bahwa banyak sekali wartawan jadi-jadian saat turunnya anggaran ke akar rumput.

“Kami menyebutnya wartawan bodrex” tambahnya.
Selain Character Building sebagai seorang wartawan, pembicara yang juga merupakan Redaktur Radar Banten ini menyampaikan kepada peserta dasar-dasar Jurnalistik seperti penggunaan prinsip piramida terbalik dalam pembuatan berita. Prinsip ini menekankan wartawan untuk mampu menganalisa bagian yang ia tulis menjadi sangat penting-penting-dan tidak terlalu penting. Sehingga jika terjadi pemotongan berita dibagian akhir karena terbatasnya kolom berita, informasi penting yang ingin disampaikan wartawan tetap tersampaikan.

WhatsApp Image 2018-02-11 at 15.28.42“Dasar-dasar jurnalistik ini diberikan kepada peserta Kelas Menulis karena jurnalistik adalah dasar dalam menulis karya-karya lain seperti novel, cerpen, feature dan lainnya.” Tutur Taufik, penanggungjawab Kelas Menulis.
Menurut pria berambut gondrong ini, ia menyampakan bahwa kurikulum yang diterapkan di Kelas Menulis Rumah Dunia ini sudah mencetak para penulis dan jurnalis baik tingkat nasional maupun regional.
“Ya materi hari ini menarik dan interaktif. Banyak ilmu jurnalistik yang didapat”. Pengakuan Ilham, salah satu peserta Kelas Menulis.

(Syf)

PELABUHAN

Kenapa tak pernah kau tambatkan.
perahumu di satu dermaga?
Padahal kulihat, bukan hanya satu.
pelabuhan tenang yang mau menerima.
kehadiran kapalmu!
Kalau dulu memang pernah ada.
satu pelabuhan kecil, yang kemudian.
harus kau lupakan,
mengapa tak kau cari pelabuhan lain,
yang akan memberikan rasa damai yang lebih?
Seandainya kau mau,
buka tirai di sanubarimu, dan kau akan tahu,
pelabuhan mana yang ingin kau singgahi untuk selamanya,
hingga pelabuhan itu jadi rumahmu,
rumah dan pelabuhan hatimu.
(Pelabuhan, karya Tyas Tatanka )

Hari itu hujan mengguyur Kab. Tangerang selepas ufuk. Aku yang tinggal di Tangerang pedalaman langsung teringat beberapa agenda hari itu. Salah satunya adalah perjalanan ke Serang. Yang sepertinya agak hoream kalau harus ditempuh dengan huhujanan.

Ahad itu aku harus melakukan perjalanan di tempat yang tidak biasa aku memulai perjalanan ke Serang. Karena sebelum keberangkatan, aku harus mengikuti kursus lain dan baru selesai Pkl 12.00 WIB. Ketika jam mulai mendekati pkl 12.00, sedikit ragu. Selain karena hujan kembali turun, aku belum tahu medan tempat berkumpulnya bus nanti. Tapi kuhapus keraguan itu karena ada sahabatku yang akan ikut menemani. Dan ku lihat juga bundelan naskah yang sudah dicetak oleh suamiku. Rasa-rasanya, aku tidak cukup sopan jika mengurungkan niat berangkat hanya karena ragu atas kebaikan mereka berdua.

Maka selepas makan siang dan sholat, aku berangkat. Ketika hendak mencari bus, aku baru tahu, bus jurusan ke Serang sangat jarang turun ke Bitung. Jadi jalan satu-satunya agar cepat adalah naik. Ketika si mamang menjunjukkan kata “naik” aku biasa saja. Ku pikir tak ada yg sulit naik ke tol. Meski aku bertanya juga pada mamang itu: “Teu ditewak polisi,mang?” Dan ia menjawab dengan santai: “Tuh neeeng… yang lain juga banyak”. Ehm.. aku berpikir sejenak. Keumuman membuat kesalahan jadi terlihat tidak salah.
Tak lama sahabatku datang, dan ia mengajakku untuk naik. Dengan semangat 45 aku ikuti ia. Dan betapa terkejutny a aku. Ternyata jalan yang aku maksud itu bukan jalannya.
“Kita harus manjat, Yus?” tanyaku meyakinkan.
“Iya lah”. Dan ia sudah bersiap untuk “mendaki” tembok pembatas jalan setinggi kurang lebih 4 meter.
Ketika aku masih bepikir-pikir, ia sudah mau sampai ke atas tembok. Dan melihat kemudahannya memanjat, aku pikir, ini tidak sesulit yang aku duga. Akhirnya aku meneguhkan hati.
Sesampainya di “puncak” aku pikir, semua akan baik-baik saja. Definisi baik-baik itu adalah aku tinggal loncat, dan sampai ke tanah. Karena ada gundukan yang aku pikir menyambung ke tembok itu. Tapi, aku salah besar.
Ada tangga yang sama tingginya menantiku. Aku yang baru berani naik tangga di usia SMP ini, sungguh lemas.. Iyus sudah menantiku di bawah dengan wajah se-sumringah awalnya.
“Yuuuus, ini ga ada yang foto kita kan?” Aku berteriak. BAru terpikir. Betapa kontrasnya apa yang kami pakai dengan apa yang kami perbuat.
“Ga ada, Fa!”
“Baguslah kalau begitu. Aku ga mau, kita terkenal sebelum waktunya!” Seruku.
Akhirnya aku sampai menjejak tanah dengan si abang penjaga puncak yang bahagia membaca profilku dari bundelan karya yang aku titipkan padanya saat aku menuju puncak. Ia mengulang-ngulang namaku, dan ku bilang: “Nuhuuun mang..”
Akhirnya aku melanjutkan perjalananku yang cukup mendaki dan sampai di Bus dengan Hahehoh!

Yus, masih biasa saja.. Aku sudah rusuh dengan minum dan cemilan (padahal beberapa menit sebelumnya aku sudah makan), dia tetep kalem seperti hanya habis melangkah.
Perjalanan lancaaar hingga kami tiba di Rumah Dunia. Meski sempat terlewat pemberhentian bus-nya tapi itu hanya cukup untuk diambil pelajaran. Bahwa esok lusa, jika kau mau turun dari bus yang belum terlalu kau hafal, jangan pegang hp dan mengobrol!

Kami tiba di Auditorium Rumah Dunia. Tapi sepi. Di perpustakaan juga sepi. Dan akhirnya, setelah melipir, sampailah di saung RD dan Mas Gol A Gong yang sedang memimpin perkenalan.

Ini bukan kali pertama aku bertemu dengan Pimpinan Rumah Dunia yang keren itu. Pertama kali pertemuanku adalah 11 tahun yang lalu ketika aku dikirim sekolahku untuk mengikuti lomba menulis di Rumah Dunia. Ini pertemuan ya, bukan perkenalan. Karena bisa jadi sampai detik ini ia tak mengenaliku.
Perkenalan ini menarik. Bukan hanya karena dipimpin oleh orang yang aku kagumi, tapi aku belajar banyak tentang bagaimana memperlakukan orang. Aku tak melihat wajah bosan di raut Mas Gong meski banyaak peserta yang “harus ia kenali”. Ia menyapa satu-satu dengan setiap satu orang yang ia tanya, membawa ilmu baru untukku yang berbeda-beda. Baik dari sisi kepenulisan, maupun dari sisi Human Development.
“Sebelum menjadi penulis, kita harus tahu, kita ingin apa? Apa tujuan kita menulis? Apa ingin tenar, materi, atau ingin dakwah Bil Qolam?” Retoris mas Gong.
“Ingin jodoh” Ucapku. Disambut tawa peserta yang lain.
“Syifaaaaaaaa!” Iyus langsung menyubitku. Ia tersinggung. Haha
Ya, semua karya tulis amat bergantung dari niat sang penulis. Dan  tidak ada yang salah dengan itu. Yang membedakan hanya satu: Apa yang penulis dapatkan setelah menulis karya tersebut. Dan itu jelas menjadi ranah personal yang tak perlu dinilai. Kalau kualitas karya, tentu saja bagiku niat apapun, selama kerja keras dan sungguh-sungguh atas izinNya pasti akan bagus.
“Karena tak ada karya yang sudah diterbitkan itu tanpa nilai baik yang bisa diambil pembacanya” Tutur Mas Gol A Gong. “Kalaupun ada yang tidak suka dengan suatu karya, ini hanya soal selera.” Penjelasan Mas Gong memberiku cahaya. Kemudian ia menuturkan tentang beberapa teknis menulis yang membuatku seperti diberi minum es kelapa muda setelah lari 7 keliling Stadion Bung Karno.
Sebelum ashar, beliau mempersilakan kami para emak-emak untuk berkenalan. Dan ini yang menjadi ilmu baru untukku. Bagaimana memperlakukan orang dengan nyaman. Aku dan Iyus duduk berdampingan. Tapi ketika Mas Gong tahu aku sudah menikah caraku diberi waktu berkenalan berbeda dengan mereka yang masih muda. Meski dalam hati, “padahal pan, aku juga masih muda ya…”. Ibu-ibu di sampingku adalah mereka yang sudah beranak pinak dan sepertinya sudah banyak memakan asam garam kehidupan ini. Maka, Mas Gong tidak menggunakan sistem bertanya seperti yang ia lakukan pada peserta lain yang masih unyu-unyu. Tapi justru memberikan waktu sepenuhnya untuk peserta ini. Dan aku merasakan sendiri nikmatnya (akhirnya terbukti ke-emak-emak-annya.hihi)
Menjelang senja aku dan Yus pamit pulang. Karena jarak yang cukup jauh, membuat kami khawatir pulang kemalaman. Meski pertemuan belum usai. Yus sudah memesan taksi online dan aku senang. Karena kami bertemu driver yang cerdas, ramah, dan baik hati (plus ganteng). Ketika berkenalan, dan kusebutkan pekerjaanku: “Ibu Rumah Tangga”. Ia mengulangi pertanyaanya. Resiko punya tampang yang masih kelihatan kurang pro jadi Ibu Rumah Tangga.
“Ga usah merendah gitu mba… Pasti ada kerjaan lain!” Selidiknya
“Kata siapa Ibu Rumah tangga pekerjaan rendah? Ga ada suami sukses tanpa pelayanan terbaik dari seorang istri, mas”. Jawabku. Masnya manggut-manggut.

Ya, sudah beberapa bulan ini, aku senang memperkanlkan diriku sebagai Ibu Rumah Tangga Jaman Now. Yang berusaha tidak hanya cakap dibidang domestik tapi juga memiliki keahlian di bidang lain.

Dan akhirnya mengalirlah banyak cerita di mobil seucrit berwarna merah itu terutama antara Yus dan mas driver itu. Aku lebih banyak ber-ooh ria. Sambil mencatat pelajaran yang sedang mereka berikan untukku.

Aku selalu senang. Bagiku berdiskusi adalah cara mudah mendapatkan ilmu. Dan diam adalah cara terbaik menyerapnya. Aku juga bahagia bertemu mereka yang punya semangat tinggi dalam hidup. Mereka yang tahu betul untuk apa hidup ini dijalani. Bukan sekedar hura-hura yang berujung huru hara, tapi juga manfaat hidup yang ia lakukan dan berikan untuk diri dan kelurganya. Ya, perjalanan pertama ke Rumah Dunia kali ini memperkenalkan aku pada banyak orang yang tahu betul pelabuhan mana yang akan menjadi dunia-nya.

Tangerang, 09 Februari 2018

 

Pain

Tidak semua rasa sakit akan membuat kita hancur. Pain bisa membuat kita jadi sesosok yg berbeda dibanding org lain yg tidak memilikinya. ‌

Di saat yang tepat, pain bisa menjadi energi besar untuk kita bertumbuh. Tak peduli bagaimana orang lain memperlakukan kita bahkan ketika takdir mengguncangkan hidup kita tanpa ampun.

Luka membuat kita tahu nikmatnya memaafkan. Luka membuat kita menjadi pribadi kuat dan tak tergoyahkan. Dan tak boleh kita lupakan, luka bisa membuat dosa-dosa kita berguguran tak bersisa.

Di saat yang tepat, saat kita tahu kita punya “energi luka” kita akan berkembang jauh melesat, dengan satu syarat: kita bisa menerima luka itu dengan hati terbuka.

Menguatlah, karena luka apapun tidak akan pernah menghancurkan kita, kecuali kita mengizinkannya…

Jika saat ini masih sesak, bersibuklah dg kebaikan..besok lusa, waktu akan membuat hati retakmu kembali utuh seperti tak kenal luka karena Dia telah menggantikan luka itu dg kebaikan yang tidak pernah engkau bayangkan.

Tangerang, 2 Januari 2018

Dari Istri Menuju Karya Besar Negeri

Dulu banget pernah terpikir, kenapa kita ga ada “sekolah sebelum nikah” seperti di Israel ya? Mereka, sebelum nikah, pasangannya diberi “kuliah” 6 bulan dan dapat sertifikat izin menikah.

Mengapa di negeri kita, tak ada pendidikan macam ini? Yang mempersiapkan manusia menuju kehidupan yg seperti makan permen nano-nano.

Padahal, negeri ini punya sejarah luar biasa ttg pendidikan keterampilan yg diberikan untuk perempuan.

Mangga di cek, bagaimana perjuangan Raden Dewi Sartika menjadi “solusi” di jamannya. Untuk menwujudkan cita-cita wanita cerdas yang juga terampil dan luwes di rumah.

Sekolah-sekolah yg Dewi Sartika dirikan, tidak hanya berhitung dan menulis, tapi juga memasak, menyulam, menjahit, menyetrika, dan rentetan keahlian lain sebagai seorang “istri” & ibu seutuhnya.

Ehm.. “Teh, kan kita mau nikah, bukan mau jadi pembantu?”

Actually, ternyata betapapun modern-nya zaman, tidak sedikitpun melunturkan khidmat (pelayanan) seorang istri kepada suami.

Lihat bagaimana Fatimah mengurus rumah tangganya..

“Teh, kan banyak tukang laundry dan PRT?”

Ya, tapi PRT dan mesin laundry tidak menjadi pengganti seorang istri berkhidmat pada suaminya.

Nilai setrikaan istri, betapapun bentuknya, tetap lebih “bernilai” dibanding hasil laundry.
Masakan istri betapapun asinnya, tetap lebih nikmat dari buatan khodimat.

Dan masuk akal, Dewi Sartika memilih jalan perjuangan ini. Saat para suami tentram dg istrinya, keluarga menjadi sakinah, suami kerja juga nyaman dan karya-karya besar terlahirkan untuk negeri ini…

Semoga, Komunitas Keluarga Kita bisa kembali menghidupkan semangat juang Dewi Sartika dijaman kekinian..

Tangerang, 31 Januari 2018

Bukan Gamis Biasa

Ini bukan mau promo gamis apalagi mau pamer gamis baru.hihi. Ini sempurna kisah mereka yang membuatku tersenyum bahagia saat ingat kisah ini…
IMG20171228081519

Suatu siang, seperti biasa aku menyambut mereka di ruang tamu sebelum belajar dimulai. Ya, kontrakanku tidak hanya ku fungsikan sebagai sarana membaca bagi masyarakat sekitar tapi juga tempat setiap orang yang ingin belajar untuk datang. Tak terkecuali, untukku. Penyambutan ini bukan semata-mata “peraturan bimbel” kami, tapi kami percaya, setiap anak pasti bahagia saat mereka “pulang kerumah” mereka di sambut gembira…

Salah satu anak gadisku datang dengan membawa sepeda. Setelah ia menarik nafas dan bercanda ria, ia mendekatiku yang sedang siap-siap untuk masuk kelas. “Bunda, aku jualan gamis. Bunda mau beli ga?” Begitu awalnya.. Aku langsung ingat proyek mereka di sekolah yang beberapa waktu lalu mereka ceritakan. “Oh ya? Kakak jual berapa?” Tanyaku serius. “Harganya seratus lima puluh ribu, bunda..” Aku tersenyum. Bukan karena harganya, tapi melihat semangat anak di depanku menawarkan jadi semangat untuk melihat gamisnya. “Boleh bunda lihat gamisnya?” Dan ia dengan sigap mengeluarkan gamis serta bercerita kepada siapa saja sudah ia tawarkan gamis itu…

“Bunda akan beli, tapi kalau bisa ditawar seratus ribu rupiah”. Kataku kemudian. Sesungguhnya, aku setengah bercanda, setengah menantangnya untuk beradu argumen. Dan sungguh dalam hati aku memang akan membelinya meski tanpa diskon. Lalu ia bilang: “Bunda, aku tanya umi dulu yaa..”
“Kenapa tanya umi nak, kan kakak yang jualan?” Lalu ia cerita untuk apa ia melakukan uasaha ini. Sepertinya ia sedang diajarkan berwirausaha oleh uminya dan aku dengan senang hati mengambil peran yang bisa ku mainkan.
“Wah, kalau semua hasil penjualannnya untuk kakak berarti 100 ribu cukup ka..” Kataku menggoda.

Dari arah luar, anakku yang lelaki bilang, “Bunda, bunda sedang tidak punya uang banget ya? Kok menawarnya murah sekali?” Aku yang sedang di ruang tamu, duduk bersama si anak di Taman Baca dan mendengarkan “teorinya” lebih lanjut.

“Waktu aku mengerjakan proyek sekolah, dan aku ikut menjaga toko mama, ketika aku melayani bapak-bapak, semua gampang. Tapi ketika ibu-ibu yang beli, haduuuh bunda… sudah nawarnya banyak, minta cicilan juga. Aku pusing deh.. ” Begitu tuturnya.

Dan aku tergelak tak tertahankan mendengar curhatan bocah lelaki ini. Dan aku sampaikan tentang tawar menawar dalam jual beli. Berikut adabnya ketika kita yang menjadi pembeli. Meski aku tidak tahu pasti, penjelasanku bisa atau tidak menghapus “streotipe” ibu-ibu dalam benak anak ini ketika berjual beli.

Besoknya, anak gadisku datang lagi. Sejujurnya, aku lupa dengan gamis itu. Dan anakku berbisik, “Bunda, ini gamis yang kemarin. Aku sepakat dengan harganya. Tapi bunda jangan bilang siapa-siapa yaaa..”

Jadilah gamis itu milikku sekarang. Setelah sebelumnya aku mengkonfirmasi kepada orangtuanya.. Gamis yang setiap aku pakai mengingatkanku pada wajah cantik nan lembut penjualnya. Gamis yang setiap aku kenakan, mengantarkan aku sampai kapanpun pada masa kecil anak-anakku.

Semoga, kelak engkau menjadi pengusaha sukses nak. Pedagang yang jujur dan taat pada perintah Allah.

Tangerang, 2 Januari 2018

Goresan kenangan,
Untuk Ananda Amaliyah Husna..

Previous Older Entries